15.10.12

Sepanjang 2012, 129 ABG Diculik dan Diperkosa

 

KOMPAS.com - Maraknya aksi penculikan disertai kekerasan seksual pada anak membuat khawatir banyak pihak. Seiring perkembangan zaman, faktor teknologi turut berpengaruh atas rentetan peristiwa tersebut. Untuk itu, bagi para orang tua diharapkan selalu menjaga buah hatinya dengan baik.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, berdasarkan catatannya, setidaknya 129 anak, khususnya ABG yang terkena kasus penculikan disertai kekerasan seksual. Angka tersebut didapat dari Januari hingga Oktober 2012.

"Di bulan Oktober ini saja ada enam kasus. Total semuanya sudah ada 129 kasus dari Januari sampai Oktober ini. 27 kasus, di antaranya korban kejahatan dari perkenalan lewat jejaring sosial," ujar Arist saat ditemui Kompas.com, Sabtu (13/10/2012).

Arist melanjutkan, modus aksi penculikan dan kekerasan seksual mengalami perkembangan seiring zaman. Kini, para pelaku yang biasanya merupakan sindikat, menggunakan situs jejaring sosial untuk menjerat korbannya.

Sebut saja peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Depok, Jakarta Utara dan Bogor. Pelaku menggunakan Facebook untuk awal perkenalan dengan korban.

"Bahkan ada satu kasus di Jakarta Utara, di mana korbannya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Artinya apa, ini situasi darurat untuk orang tua sekaligus Polisi," jelas Arist.

Orang Tua Harus Punya Facebook


Menurut Arist, upaya untuk mengantisipasi modus pelaku memanfaatkan teknologi tersebut adalah melalui sekolah dan keluarga. Di sekolah, para guru diharapkan mampu mengajarkan efek baik negatif maupun positif dari penggunaan internet. Bahkan sudah selayaknya, pemahaman tersebut masuk dalam ekstrakulikuler.

Tak hanya di sekolah, pemahaman penggunaan internet juga harus diajarkan oleh orang tua di rumah. Pemberian ponsel dengan fitur layanan internet pada anak, bukan lah bentuk kasih sayang yang utuh.

Menurutnya, orang tua harus berperan lebih jauh, yaitu turut andil dalam aktivitas anak di dunia maya. Untuk itu lah, orang tua juga wajib mempelajari internet.

"Orang tua harus belajar chatting-chatting-an. Ini tantangannya bukan hanya sekadar melarang, tapi juga harus turut andil dalam itu. Bagaimana bisa melarang anak berinternet kalau orang tua sendiri tidak tahu. Bahkan kalau bisa orang tua buka akun Facebook," ujar Arist.

PPA Harus Berdiri Sendiri

Dari segi penegakan hukum, Komnas PA menilai, aparat penegak hukum tak maksimal dalam memberantas para pelaku sindikan penculikan dan perkosaan anak. Menurut Arist, kondisi itu terjadi bukan lantaran kekurangan sumber daya manusia, namun lebih pada kefektifan struktur di institusi berseragam cokelat tersebut.

"Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), setingkat unit dan hanya ada di Polres. Harusnya itu bisa jadi setingkat Satuan dan di tiap Polsek ada unit-unitnya. Karena kasus ini serius," tegas Arist.

Kendalanya, segala keputusan yang berkaitan dengan penyelidikan kasus pidana perempuan dan anak di bawah umur, harus melalui kasat reskrim terlebih dahulu baru penyelidikan bisa dilanjutkan. Struktur tersebut dianggap memperlama proses penyelidikan sehingga pengungkapan kasus tidak maksimal.

Kepolisian memang telah memiliki struktur khusus untuk menangani kasus perempuan dan anak, yaitu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Namun, unit itu berada di bawah naungan Satuan Reserse Kriminal. PPA juga tidak berada di tiap Polsek, hanya Polres.

"Kasus yang di Depok itu, korban sempat di sekap di Parung, Bogor. Di sana, dia ketemu ABG lain. Setelah korban berhasil lari, harusnya Polisi bisa cepat ke TKP. Tapi karena lama koordinasi dulu dari Polisi Depok dengan Bogor, keburu kabur orang-orang itu," ujar Arist.

Dengan berbagai upaya antisipasi, diharapkan anak-anak Indonesia bebas dari ancaman tindak penculikan dan kekerasan seksual. Berbagai unsur harus bekerja sama untuk melindungi anak Indonesia.

No comments: